Cara Praktis Mendongkrak EQ

12 05 2007

EQ bukan warisan genetis semata. Ia bisa dipelajari, ditingkatkan dan dimantapkan melalui pelatihan. Tapi hati-hati, jangan sampai salah melatih otak.

Sejak dulu orang sudah berdebat, pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan? EQ demikian juga, apakah orang dilahirkan dengan tingkat empati tertentu atau mereka jadi memiliki empati karena pengalaman hidup? Jawabannya keduanya. Penelitian membuktikan ada komponen EQ yang diturunkan, tetapi penelitian lain menunjukkan bagaimanana seseorang dibesarkan berperan penting pada pembentukan EQ-nya. Jadi EQ bisa dipelajari.

Yang pasti EQ meningkat sesuai usia. Istilah yang biasa dipakai untuk fenomena ini adalah kematangan. Tetapi meskipun dikategorikan sudah matang, sebagian orang tetap perlu pelatihan untuk meningkatkan EQ-nya. Celakanya, banyak program pelatihan kepemimpinan cuma memboroskan energi, waktu dan uang, karena terfokus pada bagian otak yang salah.

EQ berada dalam sistem otak kanan manusia, yang mengatur perasaan, impuls dan dorongan-dorongan (emosional). Penelitian membuktikan sistem pembelajaran yang cocok untuk otak kanan adalah motivasi, praktek-praktek dan umpan balik, sedangkan otak kiri kemampuan analisa dan teknis, seperti bagaimana menggunakan komputer atau melakukan penjualan. Makanya salah sekali bila pelatihan EQ difokuskan pada otak kiri. Kinerja bisa negatif.

Pelatihan EQ tidak gampang. Waktunya juga lebih panjang dibanding program pelatihan konvensional, dan menuntut penanganan individual. Peserta program harus membuang kebiasaan lama dan menetapkan kebiasaan baru. Proses ini tidak bisa selesai di ruang kelas saja, tetapi harus berlanjut dalam praktek keseharian. Contoh, seorang eksekutif peserta program yang dikenal kurang bisa berempati. Dia tidak bisa dan tidak biasa mendengarkan, suka interupsi dan memotong pembicaraan, serta tidak memberikan perhatian penuh pada apa yang dikatakan orang lain. Agar pelatihan EQ-nya efektif, pembimbing harus selalu mengingatkan, misalnya dengan menepuk bahu atau mengerdipkan mata, bila empatinya tidak muncul atau melemah. Dia harus didorong terus-menerus agar berubah, mempraktekkan apa yang sudah dipelajari dan mendapatkan umpan balik dari pembimbing atau rekan-rekannya, yang terlibat dalam pelatihan tersebut. Selanjutnya dibutuhkan pengulangan di mana respons-nya harus lebih baik, ia diminta mendemonstrasikan kemampuannya dalam menyerap pembicaraan. Kalau perlu mengobservasi eksekutif lain, yang mampu mendengar dengan baik, dan menirunya.

Dengan ketekunan, pelatihan semacam itu bisa menghasilkan kualitas EQ yang abadi. Ini sudah dibuktikan oleh seorang eksekutif Wall Street. Sebelum pelatihan ia terkenal tak menyenangkan. Bawahan takut bekerja dengannya. Mereka juga selalu menyembunyikan berita buruk, karena ngeri terhadap kemarahannya. Fakta ini mengagetkan eksekutif tersebut. Ia berusaha mengubah citra itu dengan meningkatkan empati, terutama dalam membaca reaksi dan memahami pandangan orang lain. Pembimbing menyarankannya libur di negara berbahasa beda. Di sana reaksinya dimonitor dan dievaluasi dari waktu ke waktu. Setelah kembali bekerja, ia masih dipantau selama beberapa jam sehari. Hasilnya eksekutif tersebut menjadi lebih rendah hati, bersedia mendengarkan ide-ide berbeda, bahkan merekam pertemuan-pertemuan di mana bawahan bebas mengritik kemampuannya dalam mengenal dan memahami perasaan orang lain. Program ini berlangsung selama beberapa bulan dan menghasilkan eksekutif baru ber-EQ prima, sebagaimana tercermin dalam kinerja keseluruhan.

Semangat dan Usaha
Meskipun bisa dipelajari, peningkatan EQ tak akan berhasil tanpa semangat, ketulusan dan usaha bersama. Seminar pun tak bakal membantu. “Tujuan besar tak akan tercapai tanpa antusiasme”. Bila goal Anda pemimpin sukses, peribahasa di atas bisa jadi pegangan.

Nancy Natapura, Staf Senior Lembaga Manajemen PPM.
Dari Majalah Manajemen


Actions

Information

Leave a comment